Pengangguran 2010 2011
00.26 |
|Pemerintah Dituding Manipulasi Angka Keuangan dan Kesejahteraan
Senin, 28 Maret 2011 00:10 WIB
JAKARTA: Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono kembali dituding memanipulasi keuangan negara untuk mengisi kantong negara dan indikator kesejahteraan masyarakat dalam rangka pencitraan politik.
Kali ini, tudingan dilontarkan sekelompok tokoh yang terdiri atas dosen Hubungan Internasional FISIP UI Syamsul Hadi, pengamat Institute for Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng, dan ekonom senior Prof Hartojo Wignjowijoto.
Syamsul menjelaskan, bentuk manipulasi keuangan negara dilakukan dengan memperbesar keuangan pemerintah lewat pencetakan surat utang negara (SUN). Selama rezim pemerintahan SBY, pemerintah menjual surat utang hingga mencapai US$54,308 miliar atau setara Rp488,77 triliun. Total peningkatan surat berharga negara selama 6 tahun terakhir mencapai 156,4%.
Kebijakan pemerintah SBY menjual surat berharga negara menyebabkan devisa negara mengalami peningkatan secara tajam di masa pemerintahannya. Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menyatakan cadangan devisa hingga awal Maret 2011 telah menembus angka US$100 miliar.
“Padahal kenyataannya dari total devisa negara pada Januari 2011 sebesar US$89,032 miliar sebanyak 92,7% di antaranya bersumber dari surat utang,” jelasnya.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masa 2004-2010, terang Syamsul, terdapat peningkatan dalam penerimaan negara hingga Rp452,27 triliun. Dengan demikian, menurut dia, tambahan penerimaan negara tersebut berasal dari hasil penjualan surat berharga yang bernilai Rp488,7 triliun.
Menurut Salammudin, surat utang yang besar tersebut sebagian digunakan pemerintahan SBY untuk membiayai penyelenggaraan kekuasaan negara (APBN), gaji pegawai, stimulus, dan perdagangan bagi penanaman modal asing. Sedangkan, sisanya digunakan untuk membiayai impor, termasuk di dalamnya impor pangan yang marak terjadi dalam 6 tahun terakhir. Tercatat, dalam 6 tahun pemerintahan SBY-Boediono berdiri, impor 16 komponen pangan meningkat rata-rata 118,03% dengan nilai impor mencapai US$3,2 miliar.
Namun, kebijakan penambahan keuangan negara tersebut tidak mampu menghidupkan produktivitas masyarakat. Justru dari penjualan aset-aset negara melalui utang. Sementara, pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan dipasok dari sumber-sumber impor, pemerintahan SBY-Boediono mengimpor 16 komponen pangan meningkat rata-rata 118,03% dengan nilai impor mencapai US$3,2 miliar.
Akibat dari serangan produk-produk impor tersebut, angka pengangguran dan kemiskinan terus meningkat. Namun, lagi-lagi, pemerintah memanipulasi indikator kemiskinan dengan menetapkan indikator orang miskin yang berbeda dengan standar internasional.
“Pemerintah Indonesia menetapkan indikator orang miskin yaitu mereka yang berpendapatan di bawah Rp7.200 per hari, bukan Rp18.000 sebagaimana standar Bank Dunia. Juga indikator orang bekerja sedikitnya 1 jam kerja per minggu, bukan 7-8 jam kerja per hari sebagaimana UU Ketenagakerjaan,” paparnya.
Belum lagi, klaim keberhasilan angka-angka indikator ekonomi diantaranya angka kemiskinan, pengangguran, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan pertumbuhan ekonomi (PDB) versi pemerintah yang berulang-ulang didengungkan pemerintah. Ia mencontohkan angka pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2011 ini yang ditargetkan bisa mencapai angka 6,3%-6,4%.
Menurut dia, meski secara angka PDB negara naik, kenaikan tersebut lebih disebabkan naiknya harga-harga kebutuhan dan biaya-biaya seperti pendidikan, kesehatan, atau transportasi.
“Jadi PDB kita naik hanya karena konsumsi atau pengeluaran masyarakat naik. Padahal tidak serta merta bisa dibilang kemampuan konsumsi masyarakat naik. Mereka hanya harus beradaptasi dengan naiknya harga-harga,” katanya.
Menurut Hartojo, dalam menghitung PDB, pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan pengeluaran dimana jumlah total konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah ditambah selisih nilai ekspor-impor. Dengan demikian, PDB menghitung nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu, tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau tidak.
“Hasilnya, data-data yang muncul sangat indah, tapi pada kondisi nyatanya di kehidupan sehari-hari sangat bertolak belakang. Yang merasakan pertumbuhan pun bisa dibilang hanya 20% penduduk, sementara 80% sisanya tidak tersentuh,” tegasnya.
Sebelumnya, beberapa aktivis serta pemuka agama menyebutkan 9 kebohongan lama dan 9 kebohongan baru yang dibuat pemerintahan SBY-Boediono. Kebohongan lama yang dimaksud, antara lain, pengurangan kemiskinan yang diklaim mencapai 31,02 juta jiwa. Padahal, penerimaan beras rakyat miskin tahun 2010 mencapai 70 juta jiwa dan penerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) mencapai 76,4 juta jiwa.
Kali ini, tudingan dilontarkan sekelompok tokoh yang terdiri atas dosen Hubungan Internasional FISIP UI Syamsul Hadi, pengamat Institute for Global Justice (IGJ) Salamuddin Daeng, dan ekonom senior Prof Hartojo Wignjowijoto.
Syamsul menjelaskan, bentuk manipulasi keuangan negara dilakukan dengan memperbesar keuangan pemerintah lewat pencetakan surat utang negara (SUN). Selama rezim pemerintahan SBY, pemerintah menjual surat utang hingga mencapai US$54,308 miliar atau setara Rp488,77 triliun. Total peningkatan surat berharga negara selama 6 tahun terakhir mencapai 156,4%.
Kebijakan pemerintah SBY menjual surat berharga negara menyebabkan devisa negara mengalami peningkatan secara tajam di masa pemerintahannya. Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menyatakan cadangan devisa hingga awal Maret 2011 telah menembus angka US$100 miliar.
“Padahal kenyataannya dari total devisa negara pada Januari 2011 sebesar US$89,032 miliar sebanyak 92,7% di antaranya bersumber dari surat utang,” jelasnya.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masa 2004-2010, terang Syamsul, terdapat peningkatan dalam penerimaan negara hingga Rp452,27 triliun. Dengan demikian, menurut dia, tambahan penerimaan negara tersebut berasal dari hasil penjualan surat berharga yang bernilai Rp488,7 triliun.
Menurut Salammudin, surat utang yang besar tersebut sebagian digunakan pemerintahan SBY untuk membiayai penyelenggaraan kekuasaan negara (APBN), gaji pegawai, stimulus, dan perdagangan bagi penanaman modal asing. Sedangkan, sisanya digunakan untuk membiayai impor, termasuk di dalamnya impor pangan yang marak terjadi dalam 6 tahun terakhir. Tercatat, dalam 6 tahun pemerintahan SBY-Boediono berdiri, impor 16 komponen pangan meningkat rata-rata 118,03% dengan nilai impor mencapai US$3,2 miliar.
Namun, kebijakan penambahan keuangan negara tersebut tidak mampu menghidupkan produktivitas masyarakat. Justru dari penjualan aset-aset negara melalui utang. Sementara, pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan dipasok dari sumber-sumber impor, pemerintahan SBY-Boediono mengimpor 16 komponen pangan meningkat rata-rata 118,03% dengan nilai impor mencapai US$3,2 miliar.
Akibat dari serangan produk-produk impor tersebut, angka pengangguran dan kemiskinan terus meningkat. Namun, lagi-lagi, pemerintah memanipulasi indikator kemiskinan dengan menetapkan indikator orang miskin yang berbeda dengan standar internasional.
“Pemerintah Indonesia menetapkan indikator orang miskin yaitu mereka yang berpendapatan di bawah Rp7.200 per hari, bukan Rp18.000 sebagaimana standar Bank Dunia. Juga indikator orang bekerja sedikitnya 1 jam kerja per minggu, bukan 7-8 jam kerja per hari sebagaimana UU Ketenagakerjaan,” paparnya.
Belum lagi, klaim keberhasilan angka-angka indikator ekonomi diantaranya angka kemiskinan, pengangguran, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan pertumbuhan ekonomi (PDB) versi pemerintah yang berulang-ulang didengungkan pemerintah. Ia mencontohkan angka pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2011 ini yang ditargetkan bisa mencapai angka 6,3%-6,4%.
Menurut dia, meski secara angka PDB negara naik, kenaikan tersebut lebih disebabkan naiknya harga-harga kebutuhan dan biaya-biaya seperti pendidikan, kesehatan, atau transportasi.
“Jadi PDB kita naik hanya karena konsumsi atau pengeluaran masyarakat naik. Padahal tidak serta merta bisa dibilang kemampuan konsumsi masyarakat naik. Mereka hanya harus beradaptasi dengan naiknya harga-harga,” katanya.
Menurut Hartojo, dalam menghitung PDB, pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan pengeluaran dimana jumlah total konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah ditambah selisih nilai ekspor-impor. Dengan demikian, PDB menghitung nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu, tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau tidak.
“Hasilnya, data-data yang muncul sangat indah, tapi pada kondisi nyatanya di kehidupan sehari-hari sangat bertolak belakang. Yang merasakan pertumbuhan pun bisa dibilang hanya 20% penduduk, sementara 80% sisanya tidak tersentuh,” tegasnya.
Sebelumnya, beberapa aktivis serta pemuka agama menyebutkan 9 kebohongan lama dan 9 kebohongan baru yang dibuat pemerintahan SBY-Boediono. Kebohongan lama yang dimaksud, antara lain, pengurangan kemiskinan yang diklaim mencapai 31,02 juta jiwa. Padahal, penerimaan beras rakyat miskin tahun 2010 mencapai 70 juta jiwa dan penerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) mencapai 76,4 juta jiwa.
0 komentar:
Posting Komentar